Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi
Masyarakat
Secara umum mayoritas warga masyarakat Sumba Barat
hidup di daerah pedesaan. Hubungan kemasyarakatan bercorak kebersamaan dan
bertumpu pada ikatan kekerabatan. Hubungan interpersonal lebih menonjol dibandingkan
hubungan fungsional. Nilai kebersamaan tersebut mengandung energi sosial budaya
kreatif dalam artian ada dorongan kuat untuk mewujudkan gagasan bersama demi
kesejahteraan bersama yang dalam prosesnya ditempuh dengan mengembangkan
dinamika persaudaraan antara para pelakunya. Hal ini tampak dalam empat aspek
yang saling berkaitan, yaitu kekerabatan, kerjasama di luar keluarga dan
kekerabatan, sistem kesejahteraan ketahanan masyarakat asli dan kepemimpinan
lokal.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini nampak
kebersamaaan yang ideal tersebut di atas kurang berkembang sebagai sebuah
dinamika kehidupan yang saling mengembangkan diri baik antar individu maupun
antar kelompok. Pengalaman pembangunan selama ini memperlihatkan pemasungan
prakarsa dan kreativitas individu maupun kelompok untuk berperan serta dalam
pembangunan. Keputusan-keputusan pembangunan lebih banyak ditentukan oleh para
pengambil keputusan di tingkat atas dan keputusan pembangunan yang menyangkut
kepentingan masyarakat didominasi oleh pengambil keputusan di tingkat atas
tanpa melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga adat
dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang mempunyai andil dalam upaya
pemberdayaan masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat tidak terlibat secara
aktif dan tidak merasa memiliki karena tidak sesuai dengan aspirasi dalam
kebutuhan nyata mereka. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, kemampuan organisasi
dalam masyarakat melemah sedangkan posisi organisasi formal pemerintahan desa
dan kelurahan makin menonjol dengan kepemimpinan bercorak direktif.
Dari segi ekonomi, struktur ekonomi Sumba Barat
berbasis pertanian dalam arti luas yang mencakup tanaman bahan makanan,
perkebunan rakyat, peternakan, kehutanan dan perikanan. Hal ini menjadikan
pertanian sebagai penyumbang terbesar pada PDRB Kabupaten Sumba Barat sebesar
67%. Usaha pertanian yang dilakukan terutama bercorak pertanian primer yang
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Propeda Kabupaten Sumba Barat
2001-2005).
Agama dan Kepercayaan Masyarakat Laboya
Di Indonesia, hingga sekarang ada beberapa agama
yang diakui secara resmi oleh pemerintah atau Negara Republik Indonesia.
Agama-agama itu adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu Budha dan Konfuchu.
Selain itu diakui aliran-aliran kepercayaan sepanjang tidak bertentangan dengan
Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ditinjau dari sejarah, Agama Kristenlah yang masuk
pertama di Sumba yang disebarkan oleh penginjil Belanda pertama yaitu Pendeta
J.J. Van Alpheut. Dia tiba di Waingapu Sumba Timur pada tanggal 9 Juni 1881,
tetapi baru 10 (sepuluh) tahun kemudian terjadi baptisan pertama seorang
penduduk asli Suku Sumba. Artinya pada tahun 1891 baru penduduk asli Sumba
menerima Agama Kristen. Dalam perkembangan berikutnya baru masuk agama-agama
yang lainnya.
Bagi Suku Sumba, agama asli yang diyakini turun
temurun adalah Agama Marapu . Agama Marapu merupakan agama yang
sudah lama ada turun temurun sebelum agama-agama yang lain disebarkan di Sumba.
Karena faktor keterikatan inilah, hingga sekarang Agama Marapu masih
diyakini sebagian masyarakat Sumba termasuk masyarakat Lamboya.
Harun Hadiwijono dalam bukunya yang berjudul Religi
Suku Murba di Indonesia, 1977 dan Cf. Kaleideskop Gereja Katolik di
Sumba-Sumbawa 1889-1989 (dalam Hans J. Daeng, 2000: 117-120) menyebutkan bahwa:
“Kelompok-kelompok etnik di Pulau Sumba sering dijuluki sebagai masyarakat Marapu,
mereka beragama Marapu. Namun sesungguhnya Marapu di kalangan
tua-tua adat belum ada kata sepakat tentangnya. Menurut Harun Hadiwijono, Marapu
adalah tokoh Ilahi yang di dalamnya termasuk alam gaib, baik dalam arti
dewa maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang duniawi yang menjadi tanda
atau simbol kehadiran Marapu dan alam gaib tadi”.
Gambaran Umum Adat Istiadat “Pata Tana Laboya”
Adat
istiadat Pata Tana Laboya tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan
masyarakat. Agama Marapu merupakan cikal bakal lahirnya nilai adat
istiadat yang merupakan kearifan lokal Laboya yang menjadi obyek kajian dalam
tulisan ini. Oleh karena itu berikut akan diuraikan beberapa upacara ritual
adat dalam rangka penyembahan terhadap Marapu yang pada perkembangan
berikutnya menjadi budaya, adat istiadat, kebiasaan atau pola perilaku etik
dari masyarakat Laboya turun temurun. Adapun upacara adatnya yakni sebagai
berikut:
a) Wulla Mangata (Bulan
Januari)
Pada bulan ini di Laboya, tumbuh dan berkembang
tumbuh-tumbuhan di padang atau di alam. Hal itu terjadi karena hujan yang turun
pada bulan-bulan sebelumnya. Oleh karena itu “Rato” atau tokoh
adat/pemangku adat mengadakan upacara ritual di hutan. Rato Welajung dan
We Yelo (pemangku adat dari kampung Welajung dan We Yelo)
yang mengadakan kegiatan ritual. Kegiatan yang dilakukan adalah Rato Welajung
membawa persembahan di hutan Bodo Beru untuk memuja Marapu Rami atau
penguasa hutan di tempat itu yang diberi nama “Kalele” yang berada di
tengah hutan. Para Rato membawa satu ekor ayam sebagai persembahan bagi
penghuni hutan. Upacara adat dilakukan dengan cara ayam dipotong dan darahnya
dicurahkan di atas batu pipih di Kalele yang merupakan media
persembahan. Dagingnya, nasi yang sudah matang dipersembahkan juga. Selain itu,
disuguhkan sirih pinang di media yang sama sebagai ungkapan silaturahmi dengan
arwah atau penghuni hutan. Sirih pinang dan kapur dalam adat istiadat Laboya
merupakan sarana silaturahmi dalam hubungan sosiologis yang dilakukan turun
temurun hingga sekarang.
Tujuan
dilakukan upacara tersebut adalah agar Marapu Rami atau penjaga hutan
menjaga, melindungi dan menyuburkan hutan yang berguna bagi kebutuhan manusia,
hewan dan makhluk hidup lainnya.
b)
Wulla Nyale Laboya (Bulan Pebruari)
Dalam bahasa Laboya Wulla berarti bulan dan Nyale
adalah sejenis Lipan Laut kecil-kecil atau ada yang menyebut Cacing Laut. Nyale
ini datang bergerombol setiap tahun di pinggir laut atau pesisir pantai hanya
pada setiap Bulan Pebruari. Oleh karena itu bulan itu dinamakan “Wulla Nyale”
atau bulan dimana Nyale atau Cacing Laut itu datang di pinggir Laut
Laemadongara yang berada di Laboya.
Tujuan diadakan upacara penyambutan Nyale
dipinggir Pantai Laemadongara adalah untuk memohon berkat pada Marapu Banu
(Marapu Laut/Penguasa Laut). Larangannya tidak boleh memukul gong atau
pesta, tidak boleh memotong kayu di hutan, tidak boleh membuat rumah baru serta
tidak boleh mencemarkan pantai dan laut. Apabila melanggar larangan ini maka
akan diproses secara adat dan dikenakan denda adat Karawa Rato
yang sama dengan denda pada upacara hutan yang diadakan pada Wulla Mangata.
Bedanya, hanya tempat pelaksanaan denda adat tidak dilakukan di pinggir Pantai
Laemadongara tetapi di pusat Kampung Adat Laboya di Sadona di hadapan Rato-Rato
Moripuna atau pemangku adat utama.
c)
Wulla Nyale Gaura (Bulan Maret)
Upacara adat yang dilakukan pada bulan ini, sama
dengan upacara yang dilakukan pada Wulla Nyale Laboya. Perbedaannya
terletak pada tempat penyambutan dan penangkapan Nyale, yaitu di tempat
lain yang merupakan bagian dari kecamatan Laboya yang bernama Gaura.
Selain itu Rato (pemangku adat) juga berbeda yaitu berasal dari kampung
induk yang bernama Ubu Oleta. Oleh karena upacara yang dilakukan pada
prinsipnya sama, maka tujuan, larangan, dan sanksi adat yang dikenakan juga
sama dengan upacara penyambutan Nyale pada Wulla Nyale Laboya.
d)
Wulla Nyale Ngihu (Bulan April)
Pada bulan ini, tanaman di ladang atau kebun sudah
mulai berumbi dan menghijau daunnya. Dari deskripsi di atas, dipahami bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Laboya termasuk upacara adatnya sangat
erat kaitannya bahkan sangat ditentukan oleh alam yang disesuaikan dengan beredarnya
waktu dan musim.
Masyarakat
melakukan kegiatan atau aktivitasnya tidak terlepas dari “hasil belajar” atau
karena “pelajaran” yang didapatkan dari alam. Oleh karena itu manusia dalam
beraktivitas tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem dalam konteks ekologis
secara keseluruhan.
D.
Eksistensi Masyarakat Adat dan Adat Istiadat Pata Tana Laboya
Dalam Realitasnya di Masyarakat Laboya
Dalam deskripsi tentang agama di Indonesia dan Agama
Marapu di Sumba diketahui bahwa Agama Marapu merupakan agama asli
suku Sumba yang sudah ada jauh sebelum agama-agama lain masuk. Hingga sekarang
masih banyak masyarakat Sumba yang beragama Marapu dan terikat dengan
upacara ritual adat. Pemeluk agama yang lain di luar Marapu kalau
ditinjau secara historis adalah sebagian besar sebelumnya pemeluk Agama Marapu
. Bahkan sebagian besar masyarakat Sumba termasuk Laboya orang tuanya masih
percaya pada Agama Marapu sementara anak-anaknya beralih pada
agama-agama yang lainnya.
Kalau digambarkan dari perspektif kepercayaan dan
keterikatan serta sikap masyarakat Laboya terhadap adat istiadat sekarang maka
masyarakat Laboya dapat digolongkan pada beberapa kelompok :
a.
Sebagian
masyarakat masih percaya Marapu dengan upacara adat serta perilakunya
diwarnai nilai adat istiadat.
b.
Sebagian lagi beragama Kristen atau beragama
lain secara formal tetapi realitasnya masih terikat dengan adat dan perilakunya
diwarnai adat istiadat.
c.
Sebagian lain
beragama Kristen, Katolik dan lain-lainnya tidak terikat dalam upacara ritual
Agama Marapu tetapi perilakunya dipengaruhi nilai adat istiadat.
d.
Sebagian kecil
masyarakat pendatang yang tidak mengenal adat istiadat sehingga perilakunya
tidak terikat dengan adat tetapi menghargai adat dan nilai adat istiadat
masyarakat Laboya.
Pada
uraian No. a di atas merupakan
masyarakat adat asli yang konsisten menjaga dan percaya penuh pada Marapu dengan
adat istiadatnya. Kampung adat Sodana, Ubu Oleta, dan Malisu beserta
Rato-Rato (pemangku adatnya) dengan seluruh upacara ritual adat
yang diuraikan sebelumnya masih tetap eksis dan dihormati.
Adat
istiadat Pata Tana Laboya mempunyai pengaruh, hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Keberadaannya mewarnai pola perilaku masyarakat Laboya karena
mempunyai nilai yang luhur, humanis, dan ekologis.
Larangan
yang lahir dari upacara adat yang sudah menjadi adat istiadat atau perilaku
masyarakat Laboya antara lain tidak boleh mengadakan pesta pada bulan-bulan
yang dipemalikan, tidak menangkap ikan dan biota sungai serta tidak menebang
kayu di hutan pada waktu larangan berlangsung, tidak mencemarkan mata air,
pantai dan laut. Hal ini mewarnai sikap masyarakat Laboya.